Minggu, 25 September 2011

penyalahgunaan politik-sosiologi

Konflik Politik Pada Penyelanggaraan.... 323
Konflik Politik pada Penyelenggaraan
Pemilihan Langsung Kepala Daerah
(Studi Kasus Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota
Kotamadya Payakumbuh)*
Siti Nur Solechah**
Abstract
This essay describes research findings on political conflicts in direct
election of Mayor and Vice Mayor of Payakumbuh municipalities.
The researcher found that the political conflicts had started since the
preparation until the election stage. The conflict took place in form of
debates and exchanging strong arguments, and never ended with the
use of force. The researcher attemped to see the relations between
the background of the ethnicity and the political culture of the
Payakumbuh people with the type of political conflicts there.
Kata Kunci : Konflik Politik, Pemilihan Langsung Kepala Daerah, Pilkada,
Walikota, Wakil Walikota
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Pada era pasca Orde Baru, sejalan dengan praktek pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden secara langsung, maka di level daerah pun pemilihan kepala
daerah sebagai pejabat publik juga dituntut dilakukan secara langsung.
Berubahnya sistem pemilihan kepala daerah langsung dari sistem perwakilan
yang dilakukan sebelumnya juga turut menentukan tingkat demokratisasi di
daerah.
* Tulisan ini merupakan hasil penelitian di Kotamadya Payakumbuh yang dilakukan pada tanggal
9 s/d 12 Agustus 2007.
** Peneliti Bidang Politik Dalam Negeri (PDN), Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi
Sekretariat Jenderal DPR RI, email : solikz@yahoo.com
324 Kajian, Vol 14, No. 2, Juni 2009
Namun begitu, paradoks demokrasi terlihat pada pelaksanaan Pilkada yang
di satu sisi memperlihatkan aspek demokratisasi tersebut. Paradoks di seputar
Pilkada yang demokratis tersebut adalah adanya fenomena terjadinya konflik
politik pada pelaksanaan Pilkada. Dengan demikian, maka potensi konflik di
Indonsia menjadi bertambah. Indonesia sebagai negara yang mempunyai
struktur masyarakat yang majemuk/heterogen, melingkupi beragam suku bangsa
dengan berbagai agama (lima agama resmi dan agama lain serta aliran
kepercayaan) dan tradisi. Dari segi ras, disamping ras Melayu yang sudah
lebih lama menetap dan jumlahnya paling besar, ada ras-ras seperti Tionghoa,
Arab, India, dan sedikit keturunan Eropa. Disamping itu, diferensiasi sosial lain
seperti partai politik dan organisasi masyarakat/ormas menjadikan akar potensi
konflik menjadi beragam.
Pada era otonomi daerah ini, maka akar/sumber potensi konflik yang
bersumber dari konflik politik di seputar Pilkada merupakan fenomena yang
hampir bisa ditemui di daerah-daerah yang melaksanakan Pilkada, walaupun
eskalasi konfliknya berbeda-beda. Pemilihan Langsung Kepala Daerah tahun
2007 merupakan gelombang ke-3 setelah sebelumnya gelombang I berlangsung
pada Juni 2005, gelombang II berlangsung pada akhir 2006, dan gelombang III
tahun 2007.
Pada level provinsi, tahun 2007 Pilkada untuk pemilihan Gubernur
dilaksanakan di 6 provinsi yakni DKI, Propinsi Bangka Belitung, Kalimantan
Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, serta Maluku Utara. Sementara
untuk Kabupaten/Kota, sampai pertengahan tahun 2007 ini berjumlah kurang
lebih 303. Penyelenggaraan Pilkada di tiap-tiap daerah hampir selalu diiringi
dengan konflik. Konflik politik yang menyertai pelaksanaan Pilkada tersebut
ditemui baik pada masa persiapan, dan pada saat pelaksanaan pemilihan.
B. Perumusan Masalah
Penyelenggaraan Pilkada pada era pasca Orde Baru ini banyak diwarnai
dengan berbagai konflik dengan sifat dan eskalasi konflik yang berbeda-beda.
Masing-masing daerah (kabupaten/kota) pada era ini baru pertama kali
mempunyai pengalaman menyelenggarakan Pilkada. Tidak tertutup
kemungkinan penyelenggaraan Pilkada di Kota Payakumbuh juga diwarnai
konflik. Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah: bagaimana konflik
politik dalam penyelenggaraan Pilkada Payakumbuh terjadi? Mengapa konflik
Konflik Politik Pada Penyelanggaraan.... 325
pada penyelenggaraan Pilkada Payakumbuh terjadi? Bagaimana langkah-langkah
yang dilakukan untuk mengatasi konflik tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian lapangan ini dilakukan untuk memperoleh data informasi
mengenai jalannya penyelenggaraan Pilkada Kotamadya Payakumbuh. Seperti
yang jamak diberitakan bahwa pelaksanaan Pilkada di daerah-daerah rata-rata
bermasalah dan menimbulkan konflik. Penelitian lapangan ini dimaksudkan untuk
mendapatkan fakta di lapangan terkait dengan :
1. Bagaimana penyelenggaraan Pilkada Walikota dan Wakil Walikota
berlangsung di Kotamadya Payakumbuh.
2. Apa dan bagaimana konflik-konflik yang menyertai pelaksanaan Pilkada
Kotamadya Payakumbuh.
3. Apa sumber konflik yang menyebabkan terjadinya konflik-konflik tersebut.
4. Bagaimana penyelesaian yang dilakukan untuk mengatasi konflik-konflik
yang terjadi.
D. Kerangka Pemikiran
1. Pengertian konflik
Konflik adalah sebuah gejala sosial yang selalu terdapat di dalam
setiap masyarakat dan dalam setiap kurun waktu. Mengenai pengertian konflik,
perumusannya merentang dari pengertian yang bersifat lunak sampai kepada
pengertian yang mengandung unsur kekerasan didalamnya. Pengertian konflik
yang berunsur kekerasan, salah satunya dikemukakan oleh Robert Ted Gurr.
Menurutnya agar sebuah hubungan sosial dapat disebut konflik, maka paling
tidak harus memenuhi empat ciri. Keempat ciri tersebut adalah1 :
1) ada dua atau lebih pihak yang terlibat,
2) mereka terlibat dalam tindakan-tindakan yang saling memusuhi,
3) mereka menggunakan tindakan-tindakan kekerasan yang bertujuan untuk
menghancurkan, melukai, dan menghalang-halangi lawannya, dan 4)
interaksi yang bertentangan ini bersifat terbuka sehingga bisa dideteksi
dengan mudah oleh para pengamat yang independen.
1 Ted Robert Gurr, Handbook of Political Conflict, Theory and Research, New York, The Free
Press, 1980, hal. 2
326 Kajian, Vol 14, No. 2, Juni 2009
Pengertian konflik oleh Gurr ini bermuara pada terjadinya kekerasan.
Namun menurut Schelling, konflik terjadi manakala tujuan, kebutuhan, dan
nilai-nilai kelompok-kelompok yang bersaing bertabrakan dan akibatnya terjadilah
agresi, walaupun belum tentu berbentuk kekerasan.2
Pengertian lain dari konflik dapat diartikan sebagai “setiap pertentangan
atau perbedaan pendapat antara paling tidak dua orang atau kelompok”.3
Sementara Ramlan Surbakti mengatakan bahwa konflik berhubungan dengan
“benturan” seperti perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan antara
individu dengan individu, kelompok dengan kelompok, individu dengan kelompok
yang masing-masing mempunyai kepentingan yang berbeda-beda.4
Pengertian konflik seperti yang dikemukakan oleh Gurr di atas, maka
yang dikategorikan konflik apabila mengarah pada konflik fisik, sehingga konflik
lisan dalam bentuk debat, polemik, perbedaan pendapat, dan yang hanya saling
menyerang dengan kata-kata, itu tidak bisa disebut konflik. Menurut Maswadi
Rauf, konflik lisan pun bisa dikategorikan sebagai konflik. Hal ini seperti yang
diungkapkannya, bahwa;
“konflik lisan dapat dikategorikan sebagai konflik karena sudah
terlihat adanya pertentangan di dalamnya meskipun tindakan
kekerasan yang melibatkan benda-benda fisik belum terjadi.
Bila konflik hanya terbatas pada tindakan kekerasan secara
fisik, maka seharusnya tidak ada istilah seperti conflict of
interest, conflicting ideas, dan lain sebagainya yang lebih
banyak mengacu pada konflik lisan”.5
Alo Liliweri merangkum dari berbagai sumber mengenai definisi konflik.
Istilah konflik dapat dirangkum dan diartikan sebagai berikut :6
1) konflik adalah bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu
atau kelompok karena mereka yang terlibat memiliki perbedaan sikap,
kepercayaan, nilai-nilai, serta kebutuhan;
2http://72.14.235.132/search?q=cache:3Nwr36umBqkJ:www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/
artikel_ef.htm, diakses pada 27 Desember 2008
3 Maswadi Rauf, Konsensus Politik, Sebuah Penjajagan Teoritis, Jakarta, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Depdiknas, 2000, hal. 2
4 Ramlan Surbakti, Dasar-dasar Ilmu Politik, Surabaya, Airlangga University Press, 1984, hal. 75
5 Ibid, hal. 2
6 Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur,
Yogyakarta, LKiS, 2005, hal. 249-250
Konflik Politik Pada Penyelanggaraan.... 327
2) hubungan pertentangan antara dua pihak atau lebih (individu maupun
kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran tertentu,
namun diliputi pemikiran, perasaan, atau perbuatan yang tidak sejalan;
3) pertentangan atau pertikaian karena ada perbedaan dalam kebutuhan, nilai,
dan motivasi pelaku atau yang terlibat di dalamnya;
4) suatu proses yang terjadi ketika satu pihak secara negatif mempengaruhi
pihak lain, dengan melakukan kekerasan fisik yang membuat orang lain
perasaan serta fisiknya terganggu;
5) bentuk pertentangan yang bersifat fungsional karena pertentangan semacam
itu mendukung tujuan kelompok dan memperbarui tampilan, namun
disfungsional karena menghilangkan tampilan kelompok yang sudah ada;
6) proses mendapatkan monopoli ganjaran, kekuasaan, pemilikan, dengan
menyingkirkan atau melemahkan pesaing;
7) suatu bentuk perlawanan yang melibatkan dua pihak secara antagonis;
8) kekacauan rangsangan kontradiktif dalam diri individu.
Uraian di atas juga menunjukkan bahwa dalam setiap konflik terdapat
beberapa unsur sebagai berikut :
1. Ada dua pihak atau lebih yang terlibat.
2. Ada tujuan yang dijadikan sasaran konflik, dan tujuan itulah yang menjadi
sumber konflik.
3. Ada perbedaan pikiran, perasaan, tindakan di antara pihak yang terlibat
untuk mendapatkan atau mencapai tujuan.
4. Ada situasi konflik antara dua pihak yang bertentangan.
Menurut Gluckman, konflik tidak selalu sama, ada konflik individual,
ada konflik kelompok, ada konflik tertutup, dan ada konflik terbuka.8 Konflik
kepentingan dalam suatu kelompok selalu ada sepanjang waktu, setidaknya
yang tersembunyi.9 Konflik pada penyelenggaraan Pilkada disebut dengan konflik
politik karena konflik yang terjadi mempunyai keterkaitan dengan
7 Barge dalam Liliweri, Ibid, hal 250.
6 Dahrendorf, dalam Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta, Rajawali Press,
1998) , hal. 34.
7 George Ritzer dan Douglas J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Jakarta, Prenada Media,
2004, hal. 154.
8 Makalah, tanpa tahun, Drs. Mulyadi M.S., Jurusan Antropologi, Fak. Ilmu Budaya UGM
9 George Ritzer dan Douglas J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Jakarta, Prenada Media, 2004,
hal. 156
328 Kajian, Vol 14, No. 2, Juni 2009
penyelenggaraan pemerintahan maupun dengan jabatan politik, atau terkait
dengan permasalahan terkait who gets what, when and how.”10
Sementara itu, esensi politik adalah konflik dan konsensus. Dengan begitu, di
dalam kehidupan manusia/masyarakat terdapat dua potensi yang saling bertolak
belakang antara satu dengan yang lainnya yaitu potensi “konflik” dan potensi
“damai/konsensus”. Kedua potensi itu bagaikan dua sisi mata uang yang tidak
dapat dipisahkan satu dan lainnya. Jadi potensi konflik dan damai menyatu
dalam kehidupan masyarakat yang sewaktu-waktu dapat muncul silih berganti.
Potensi konflik akan muncul lebih kuat apabila manusia terlalu mengutamakan
kepentingan individu sehingga terjadi persaingan untuk mencapai tujuan.
Sebaliknya, potensi damai akan lebih dominan bilamana manusia lebih
mengutamakan kepentingan kelompok yang dilandasi oleh nilai dan norma
sosial yang pada gilirannya akan menciptakan suatu kedamaian.
2. Penyebab konflik
Untuk dapat menyelesaikan konflik yang terjadi di masyarakat, harus
diketahui penyebab konflik yang melatarbelakanginya. Terkait dengan latar
belakang munculnya konflik, menurut Wiliiam Chang, “konflik sosial tidak hanya
berakar pada ketidakpuasan batin, kecemburuan, iri hati, kebencian, masalah
perut, masalah tanah, masalah tempat tinggal, masalah pekerjaan, masalah
uang, dan masalah kekuasaan. Namun menurutnya, emosi manusia sesaat
pun bisa memicu terjadinya konflik sosial.” 11
Maswadi Rauf mengidentifikasi adanya tiga hal terkait dengan penyebab
terjadinya konflik, yakni :”pertama, posisi dan sumber-sumber kekuasaan, kedua,
tingginya penghargaan terhadap posisi politik, serta ketiga, kesempatan untuk
memperoleh sumber daya yang langka.”12
Dalam kajian konflik, latar belakang terjadinya konflik juga sering dipicu
adanya pemanfaatan norma/aturan yang berlaku.13 Aturan sering bersifat ambigu,
dan sifat ambiguitas itu sering dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu.
Tujuan memanipulasi norma adalah untuk kepentingan politik dan akan terjadi
10 SP. Varma, Teori Politik Modern, Jakarta, Rajawali Press, 1990, hal. 260
11 William Chang, “Dimensi Etis Konflik Sosial” dalam Kompas, Rabu 2 Februari 2001
12 Maswadi rauf, op-cit, hal. 19
13 Edmund R. Leach dan Max Gluckman dalam Makalah Mulyadi, ibid.
Konflik Politik Pada Penyelanggaraan.... 329
benturan atau konflik, yang diawali dengan konflik norma dan konflik
kepentingan, dengan tema sentral memperebutkan kekuasaan.
UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
memasukkan pemilihan kepala daerah kedalam rezim Pemilu. Seperti yang
dikatakan oleh Robert Dahl bahwa “dua dari enam ciri lembaga-lembaga politik
yang dibutuhkan oleh demokrasi skala besar adalah berkaitan dengan Pemilu,
yaitu para pejabat yang dipilih dan Pemilu yang bebas, adil dan berkala.”14
Sementara itu, kriteria Pemilu demokratis adalah :15
1. Semua orang dewasa memiliki hak suara;
2. Pemilu secara teratur dalam batas waktu yang ditentukan;
3. Semua kursi di legisltaif adalah subyek yang dipilih dan dikompetisikan;
4. Tidak ada kelompok substansial ditolak kesempatannya untuk membentuk
partai dan mengajukan kandidat;
5. Administrator Pemilu harus bertindak adil; tidak ada pengecualian hukum,
tanpa kekerasan, tanpa intimidasi kepada kandidat untuk memperkenalkan
pandangan atau pemilih untuk mendiskusikannya;
6. Pilihan dilakukan dengan bebas dan rahasia, dihitung dan dilaporkan secara
jujur, dan dikonversi menjadi kursi legislatif sebagaimana ditentukan oleh
peraturan;
7. Hasil pilihan disimpan di kantor dan sisanya disimpan sampai hasil pemilihan
diperoleh.
Kriteria Pemilu demokratis diatas mengacu pada Pemilu legislatif, namun
begitu pastilah berlaku pula bagi Pemilu untuk mengisi jabatan di lembaga
eksekutif. Agar Pemilu demokratis bisa dilakukan secara berkala/
berkesinambungan, perlu didukung oleh kondisi berikut :16
1. Adanya Pengadilan Independen yang menginterpretasikan peraturan Pemilu
2. Adanya lembaga administrasi yang jujur, kompeten, dan non partisan untuk
menjalankan Pemilu;
3. Adanya pembangunan sistem kepartaian yang cukup terorganisir untuk
meletakkan pemimpin dan kebijakan diantara alternatif kebijakan yang dipilih;
4. Penerimaan komunitas politik terhadap aturan main tertentu dari struktur
dan pembatasan dalam mencapai kekuasaan.
14 Robert Dahl, Perihal Demokrasi, YOI, Jakarta, 1999, hal. 118
15 Sigid Pamungkas, Perihal Pemilu, Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol UGM, Yogyakarta,
2009, hal. 12
16 Ibid
330 Kajian, Vol 14, No. 2, Juni 2009
Konflik harus diakui keberadaannya, dikelola, dan diubah menjadi suatu
kekuatan bagi perubahan yang positif. Coser menyatakan bahwa konflik adalah
suatu komponen penting dalam setiap interaksi sosial. Oleh karena itu menurut
Coser konflik tidak perlu dihindari, sebab “Konflik dapat menyumbang banyak
bagi kelestarian kehidupan sosial, bahkan mempererat hubungan antar anggota
masyarakat.”17
Disamping itu, bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang memiliki
keragaman budaya. Setiap budaya memiliki kearifan-kearifan tersendiri dalam
menyikapi permasalahan hidup yang dihadapi, termasuk di dalamnya kearifan
dalam menyelesaikan konflik. Kearifan-kearifan seperti inilah yang sering disebut
sebagai kearifan lokal (local wisdom).18 Cara penyelesaian konflik lebih tepat
jika menggunakan model-model penyelesaian yang disesuaikan dengan kondisi
wilayah serta budaya setempat.19
Konflik tidak selamanya berakibat negatif. Jika bisa dikelola dengan
baik, konflik justru bisa menghasilkan hal-hal yang positif. Misalnya, sebagai
pemicu perubahan dalam masyarakat, memperbarui kualitas keputusan,
menciptakan inovasi dan kreativitas, sebagai sarana evaluasi, dan lain
sebagainya. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa jika konflik
tidak dikelola dengan baik dan benar, maka akan menimbulkan dampak negatif
dan merugikan masyarakat.
II. Metode Penelitian
Makalah ini merupakan hasil penelitian lapangan yang dilakukan pada
tanggal 9 – 12 Agustus 2007. Sedangkan pelaksanaan pemungutan suara
dilakukan pada tanggal 13 Agustus 2007. Sehingga data yang diperoleh adalah
data dari tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Data yang diperoleh pada
tahap pelaksanaan terbatas pada data yang diperoleh sampai pada masa tenang.
Sedangkan data pada masa pemungutan suara dan perhitungan suara serta
data pada pasca perhitungan suara diperoleh dari berita media massa baik
media massa cetak maupun elektronik.
17 Lewis Coser dalam Makalah Mulyadi, “Konflik Sosial ditinjau dari Segi Struktur dan Fungsi”,
Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya UGM, tanpa tahun, Yogyakarta.
18 Koenjtaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta, Penerbit Djambatan, 1993,
hal. 31.
19 David C. Korten, Pembangunan Berpusat pada Rakyat, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1985, hal. 14.
Konflik Politik Pada Penyelanggaraan.... 331
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah strategi penelitian
studi kasus. Strategi kajian studi kasus ini “dapat mengedepankan dua
pertanyaan dasar yakni “how” dan “why” dengan fokus kajiannya pada peristiwaperistiwa
yang terjadi”.20 Strategi studi kasus menawarkan dua sumber bukti
yakni observasi langsung dan wawancara sistematis.
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara mendalam dengan beberapa
informan. Untuk menentukan informan menggunakan metode purposive. Dengan
metode ini, peneliti mewawancarai pihak penyelenggara Pemilu, partai/gabungan
partai kontestan Pilkada, dan unsur Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida).
Sedangkan data sekunder yang diperlukan meliputi peraturan perundangundangan
terkait dengan Pilkada seperti; UU No. 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah, dan peraturan terkait lainnya. Disamping itu juga
menggunakan berbagai literatur yang berkaitan dengan Pilkada.
Adapun teknik pengolahan datanya diawali dengan melakukan studi
pustaka untuk menelusuri peraturan perundang-undangan, konsep dan pendapat
pakar mengenai konflik politik dan konflik yang terjadi pada penyelenggaraan
Pilkada. Setelah mendapatkan gambaran tentang konflik politik terkait
penyelenggaraan Pilkada, maka diteruskan dengan melakukan wawancara.
Metode wawancara yang digunakan adalah metode wawancara tidak terstruktur,
untuk memberikan keleluasaan kepada peneliti untuk menggali informasi secara
mendalam. Data primer maupun data sekunder yang terkumpul kemudian
dianalisis secara kualitatif sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan.
III. Hasil dan Pembahasan
Temuan-temuan penelitian yang akan diuraikan berikut ini adalah temuantemuan
penelitian yang diperoleh pada masa persiapan, dan pada tahap
pelaksanaan. Sebagaimana yang diatur pada Pasal 65 UU No. 32 Tahun 2004
20 Robert K. Yin, Case Study Research, Design and Method (2nd ed.), Sage Publication, 1994, hal.
6-9.
332 Kajian, Vol 14, No. 2, Juni 2009
tentang Pemerintahan Daerah, bahwa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah dilaksanakan melalui masa persiapan, dan tahap pelaksanaan.21
A. Hasil Penelitian
1. Konflik yang terjadi pada Masa Persiapan
Pada masa persiapan, belum terlihat ada konflik yang serius, hanya
timbul hal-hal/potensi yang mengarah pada suasana konflik. Potensi konflik
tersebut antara lain adalah;
Pertama; ada potensi konflik antara Panwas dengan KPU Kota. KPU
Kota tidak menyambut baik terbentuknya Panwas Kota. Posisi Panwas sebagai
pengawas KPU Kota telah menjadikan KPU Kota merasa kerjanya dihalanghalangi
oleh Panwas Kota. Bahkan menurut Ketua KPU Kota Hendra Yani
Panwas tidak perlu dibentuk, seperti yang dikatakannya bahwa; “sebetulnya
Panwas tidak usah dibentuk, karena keberadaannya hanya menghalangi kerja
KPU”.22
Sementara, pihak Panwas menyayangkan terlambatnya pembentukan
institusi itu. Dikatakan oleh Ketua Panwas bahwa:
“Panwas kota dilantik 12 Mei 2007, sementara proses
penyusunan daftar pemilih sementara sampai dengan
pengumuman daftar pemilih tetap (DPT) setengah bulan sesudah
itu. Idealnya jauh hari sebelum penyampaian surat dari DPRD
kepada Kepala Daerah bahwa masa jabatan kepala daerah sudah
habis seharusnya pembentukan Panwas sudah dibentuk, jadi
bisa action dari awal, tidak disibukkan dengan urusan
administrasi. Belum lagi membentuk Panwas di dibawah kan
hierarkinya dari atas, ini makan waktu, dan pemikiran. Kalau dari
awal bisa mengawasi kan bisa mengawasi pendaftaran
21 Masa persiapan meliputi: a. Pemberitahuan DPRD kepada kepala daerah mengenai berakhirnya
masa jabatan, b. Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mngenai berakhirnya masa jabatan kepala
daerah, c. Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan
pelaksanaan pemilihan kepala daerah, dan d. Pembentukan Panitia Pengawas, PPK, PPS dan
KPPS, serta e. Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau (Pasal 65 ayat (1)). Sedangkan tahap
pelaksanaan meliputi; a. penetapan daftar pemilih, b. Pendaftaran dan penetapan calon kepala
daerah/wakil kepala daerah, c. Kampanye, d. Pemungutan suara, e. Penghitungan suara, dan f.
Penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih, pengesahan, dan
pelantikan. (Psl. 65 ayat (2)).
22 Wawancara dengan Ketua KPU Kota Payakumbuh, Hendra Yani, tanggal 9 Agustus 2007.
Konflik Politik Pada Penyelanggaraan.... 333
pemilih, dan pendaftar baru/tambahan dari daftar yang ada
sebelumnya.” 23
Pada awal pembentukannya, Panwas tidak bisa segera melakukan
tugas-tugasnya. Hal tersebut terjadi, karena pada saat itu Panwas disibukkan
dengan urusan internal/konsolidasi kedalam. Urusan internal tersebut seperti
pembentukan sekretariat, dan pembentukan Panwas di tingkat kecamatan.
Kedua, terjadi konflik yang lebih merupakan riak-riak kecil yakni konflik
antara partai-partai dengan KPUD dalam hal pembentukan Panitia Pemilihan
Kecamatan (PPK). Menurut perwakilan dari Partai Golkar, KPUD tidak konsisten
dengan aturan yang dibuatnya sendiri. Sebelumnya KPUD mengumumkan bahwa
ada penerimaan anggota PPK bagi anggota masyarakat yang berminat, tapi
pada akhirnya KPUD mencari dan menetapkan sendiri anggota PPK, dan namanama
peminat yang telah mendaftar dicoret oleh KPUD. “Tindakan KPUD ini
sangat mengecewakan peminat yang telah mendaftar.”24
2. Konflik-konflik yang terjadi pada Tahap Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan Pilkada Payakumbuh, penyebab yang
melatarbelakangi terjadinya konflik banyak disebabkan oleh adanya pelanggaranpelanggaran.
Pelangggaran tersebut dilakukan antara lain oleh lembaga-lembaga
penyelenggara Pilkada25, tindakan indisipliner dari pendukung dan partai
pengusung pasangan calon, elit politik lokal yang melakukan tindakan
menyimpang, dan sebagainya.
Adapun pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota pada Pilkada
Payakumbuh ada empat pasangan calon, yakni:
23 Hasil wawancara dengan Ketua Panwas Kota Payakumbuh Yuzalmon, tanggal 10 Agustus
2007
24 Wawancara dengan perwakilan dari Partai Golkar, pada 12 Agustus 2007.
25 Lembaga-lembaga penyelenggara Pilkada di Kota Payakumbuh sebagaimana penyelenggara
Pilkada di tingkat Kabupaten/kota, pertama, diselenggarakan oleh KPU Kota sebagai
penyelenggara pemilihan umum untuk memilih kepala daerah di tingkat kotamadya, kedua,
dilakukan oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) yakni panitia yang dibentuk oleh KPU Kota
untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah di tingkat kecamatan. Ketiga, diselenggarakan
oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS) yakni panitia yang dibentuk oleh KPU Kota untuk
menyelenggarakan pemilihan kepala daerah di tingkat desa/kelurahan. Keempat,
diselenggarakan oleh Kelompok Penyelenggara Pemilihan Suara (KPPS) yang merupakan
pelaksana pemungutan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
334 Kajian, Vol 14, No. 2, Juni 2009
1. H. Ardi – H. Nasrullah Nukman (PKS)
Calon Walikota (dosen Fak. Pertanian Unand Padang. S-2).
Calon Wakil Walikota (Anggota DPRD Kota Padang Panjang, S-1)
2. H. Masrul Malik – H. Risman Muhtar (Partai Bulan Bintang – Partai
Demokrat)
Calon Walikota (Pamen Babinkum TNI, S-1)
Calon Wakil Walikota (Koordinator Divisi MTDK PP Muhammadiyah)
3. H. Josrizal Zain - H. Syamsul Bahri Dt Bandaro Putiah (PPP)
Calon Walikota (Walikota Payakumbuh)
Calon Wakil Walikota (Kabag. Kerjasama Biro Binamitra Polda Riau)
4. H. Benny Muhtar – Hendri (P. Golkar - PAN)
Calon Walikota ( Kepala Dinas Peternakan Prop. Sumbar)
Calon Wakil Walikota (Dosen Fak. Peternakan Univ. Andalas)
Pada tahap pelaksanaan ini, konflik yang terjadi antara lain adalah:
1. Konflik antara KPU Kota dengan Panwas Kota
Konflik antara KPU Kota dan Panwas Kota dilatarbelakangi, pertama
oleh kurang akuratnya data pemilih. Data pemilih diambil dari data di Kantor
Catatan Sipil, namun masih banyak menyimpan kesalahan. Panwas menemukan
kasus ada penduduk yang belum 17 tahun telah terdaftar sebagai pemilih,
sementara itu ada warga yang sudah berhak memilih tidak terdaftar sebagai
pemilih.
Beberapa warga melaporkan ke Panwas setelah ditetapkan Daftar
Pemilih Tetap (DPT) bahkan saat menjelang pemilihan yaitu ketika didistribusikan
kartu pemilih. Menurut Ketua Panwas Kota, dibandingkan dengan data Pimilihan
Gubernur (Pilgub) tahun 2005, data untuk Pilkada jauh lebih meningkat. Data
Pilgub berjumlah 67 ribu, sementara data Pilkada 73 ribu, bertambah 10 %.
Pertambahan warga yang mempunyai hak pilih ini mengundang pertanyaan
Panwas, “apakah pertumbuhan penduduk Kota Payakumbuh dalam kurun waktu
2 tahun sedemikian tinggi ?”26
Bagi pemilih yang tidak mendapat kartu pemilih dimungkinkan
menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk mencoblos. Catatan yang
ada di Panwas, ada sekitar 100 warga yang tidak mendapat kartu pemilih.
26 Hasil wawancara dengan Ketua Panwas Kota Payakumbuh Yuzalmon, tanggal 10 Agustus
2007
Konflik Politik Pada Penyelanggaraan.... 335
Masalah kedua, terkait dengan jumlah pemilih, terdapat perbedaan antara KPU
Kota dengan Panwas. Perbedaan tersebut terkait dengan masalah jumlah pemilih
di daerah perbatasan. Masalahnya mereka berdomisili di daerah Kabupaten
Limapuluh Kota tapi mereka memiliki KTP Kotamadya Payakumbuh. Masalah
itu timbul karena peraturan perundangan yang terkait dengan pemilihan kepala
daerah tidak mengatur masalah penduduk perbatasan. Karena yang menjadi
patokan adalah KTP, maka ketika ada pemilihan di Kabupaten Limapuluh Kota
mereka terdaftar sebagai pemilih di Kabupaten tersebut. Hal itu terjadi karena
mereka mempunyai dua KTP, yakni KTP Kota Payakumbuh dan KTP Kab.
Limapuluh Kota.
Wilayah perbatasan tersebut adalah wilayah antara Kota Payakumbuh
Utara dengan Kabupaten Limapuluh Kota yakni Api-Api yang statusnya tidak
jelas. Pejabat Provinsi pun tidak berani mengambil keputusan yang tegas dengan
batas wilayah itu, dan masalah tersebut diserahkan ke Kabupaten Limapuluh
Kota dan Kotamadya Payakumbuh. Namun, di tingkat kabupaten dan kota tidak
dibicarakan secara tuntas. Hal itu karena wilayah administratif bisa dibagi, akan
tetapi wilayah kesukuan tidak bisa dibagi. Karena orang-orang tersebut
berdomisili di Payakumbuh, mereka mengaku orang Payakumbuh, walaupun
secara administratif masuk ke Kabupaten Limapuluh Kota. Untuk mengatasi
masalah ini maka telah bertemu pihak KPUD, Panwas, Muspida Kota
Payakumbuh dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Limapuluh Kota. Hasilnya
adalah bahwa penduduk di Api-Api tidak boleh menggunakan hak pilihnya untuk
Pilkada Kota Payakumbuh.27
2. Konflik antara KPUD dengan PKS pada Pencalonan Walikota/Wakil
Walikota
Konflik pada proses pencalonan terjadi antara KPUD dengan pasangan
calon dari PKS. KPUD menetapkan aturan bahwa pakaian calon adalah memakai
Pakaian Sipil Lengkap (PSL). Namun pasangan calon dari PKS memakai pakaian
adat. Terjadi misinterpretasi antara KPUD dengan PKS. KPUD menetapkan
bahwa pakaian calon baik dalam pendaftaran calon di KPUD dengan pakaian
digambar untuk kampanye sama yakni berpakaian PSL. Sementara PKS
bersikeras bahwa pakaian PSL hanya digunakan saat pendaftaran saja,
27 Hasil wawancara dengan Kasat Intelpam AKBP Syamsir Alam, Polres Kota Payakumbuh, 11
Agustus 2007.
336 Kajian, Vol 14, No. 2, Juni 2009
sementara gambar untuk kepentingan kampanye bisa memakai pakaian adat.
Namun begitu KPUD mengalah dan membiarkan calon dari PKS memakai
pakaian adat sesuai dengan ciri partai PKS yang bercirikan Islam.
3. Konflik antar Anggota Partai Pendukung Calon dengan Panwas pada
Masa Kampanye
Sebelum tahap kampanye dimulai banyak partai-partai pendukung
pasangan calon tertentu yang melakukan pelanggaran yakni menempel atributatribut
calon seperti poster, dan spanduk. Persiapan dari calon incumbent relatif
sudah berjalan lebih dahulu, sementara pasangan calon yang lain baru memulai.
Pendukung dari pasangan incumbent menggunakan kesempatan tersebut untuk
menyebar poster, alat-alat peraga. Secara umum itu dianggap sebagai
pelanggaran. Hal ini karena masuk dalam kategori kampanye yang sifatnya
mengajak, memberitahu sehingga orang tertarik untuk memilih.
Melihat pelanggaran-pelanggaran tersebut Panwas mengkaji
pelanggaran-pelanggaran itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
mengatur terkait penyelenggaraan Pilkada. Namun menurut Ketua Panwas, hal
tersebut sulit dijangkau karena menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah Pasal 116 dinyatakan bahwa yang masuk pada kategori
kampanye seperti yang diatur dalam Pasal 75 (2) yakni kampanye diluar dari
waktu yang telah diatur KPUD. Rentang waktu antara tahap pendaftaran pemilih
hingga tahap kampanye cukup panjang yakni sebulan. Waktu sebulan ini
digunakan oleh para calon dan partai pendukungnya dengan aktivitasnya
masing-masing.
Selain itu, terjadi juga konflik antara tim kampanye pasangan Josrizal-
Syamsul Bahri. Konflik itu terjadi saat berlangsungnya kampanye arak-arakan
yang dilakukan oleh pendukung dan partai pengusung pasangan tersebut. Pawai
tersebut melanggar Pasal 78 (J) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang melarang melakukan kampanye arak-arakan dengan pawai. Pihak
kepolisian mengambil tindakan untuk memecah arak-arakan tersebut dan
diarahkan ke 4 (empat) arah, sehingga tidak berkonvoi panjang. Arak-arakan
hanya sekitar 20 – 30 mobil, arak-arakan tidak sempat masuk kota karena
diblokir.
Konflik Politik Pada Penyelanggaraan.... 337
Namun sewaktu kasus ini diproses secara hukum, “ternyata kasus ini
tidak bisa didekati dengan pasal 116 UU No. 32 Tahun 2004 yakni pasal tentang
kampanye di luar jadwal”28. Sehingga langkah yang diambil Panwas adalah;
“pertama; tindakan preventif dalam arti memberikan pemahaman,
sosialisasi, kesadaran pada pasangan calon untuk tidak
melakukan hal-hal itu. Pasangan calon dan timnya diundang ke
kantor Panwas kemudian dijelaskan aturan main pilkada. Kedua;
menggunakan pendekatan persuasif. Apabila masih ada indikasi
mengarah pada terjadinya pelanggaran, maka diberitahu, ditelpon,
disurati agar tidak melakukan kembali. Apabila hal ini juga tidak
berpengaruh, maka Panwas sebatas menertibkan semua atributatribut
pasangan calon atau partai pengusungnya.”
Disinyalir, pada masa kampanye ini pasangan calon Josrizal-Syamsul
Bahri juga banyak menggunakan fasilitas dan memoblisasi staf Pemerintah
Kota untuk kepentingan kampanye. Tapi kritik dari partai pendukung pasangan
calon lain tidak diperhatikan. Hal tersebut seperti yang dinyatakan oleh salah
satu fungsionaris partai Golkar dengan mangatakan; “Tapi kritik dari pendukung
calon pasangan lain tidak mendapat tanggapan yang semestinya baik dari aparat
kepolisian, demikian juga dengan Panwas yang tidak banyak berbuat atas
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di masa kampanye”.29 Sepengakuan Ketua
Panwas, bahwa memang instruksi tertulis tidak ada tapi desas desus di
masyarakat memang itu dikondisikan, terutama pada kampanye terakhir.”30
4. Konflik Terselubung antar Partai-Partai Pendukung Calon Walikota/
Wakil Walikota
Pada Masa Tenang, muncul praktek yang beraroma money politic yang
dilakukan oleh pasangan calon incumbent. Pasangan calon tersebut membagibagikan
uang insentif pada RT/RW yang dikatakan sebagai insentif hari raya.
Ketua panwas merasakan ada kejanggalan dalam praktek tersebut.31 Terkait
dengan posisi calon incumbent itu salah satu fungsionaris PKS mengatakan
28 Hasil wawancara dengan Ketua Panwas,Yuzalmon, tanggal 10 Agustus 2007.
29 Hasil wawancara dengan perwakilan dari Partai Golkar di DPD Partai Golkar Kota Payakumbuh,
12 Agustus 2007.
30 Hasil wawancara dengan Ketua Panwas, Yuzalmon, tanggal 10 Agustus 2007.
31 Pengakuan Yuzalmon, Ketua Panwas Kota Payakumbuh, hasil wawancara dengan Yuzalmon
pada 10 Agustus 2007.
338 Kajian, Vol 14, No. 2, Juni 2009
bahwa ; “Calon incumbent yang hanya mendapat cuti 14 hari menjelang
pelaksanaan Pilkada sungguh merugikan pasangan calon yang lain. Semua
sumberdaya yang ada di Pemerintah Kota yang masih dikuasainya dimanfaatkan
untuk kepentingan memenangkan pencalonannya.”32
Terkait dengan peran aparat desa dalam hal ini para ketua Rukun
Tetangga (RT), pihak PKS menaruh kecurigaan kepada ketua-ketua RT dalam
hal pendaftaran pemilih. Kecurigaan tersebut yakni bahwa mereka dirasa kurang
maksimal, kurang teliti, ada indikasi kesengajaan karena para RT dikooptasi
oleh Walikota yang juga menjadi calon walikota. Pengakuan dari fungsionaris
PKS tersebut bahwa “pada saat itu sudah diatasnamakan bahwa RT adalah di
kubu incumbent, bahkan ada di daerah tertentu lurah sampai RT dikoop oleh
incumbent, mungkin yang tidak setuju hanya beberapa orang.”33
PKS Payakumbuh berkeyakinan bahwa kalau ada incumbent
mencalonkan diri menjadi calon kepala daerah, bisa dipastikan ada pengerahanpengerahan.
PKS berkeberatan ketika incumbent tidak mengundurkan diri,
karena posisinya sebagai kepala daerah akan dimanfaatkan untuk kepentingan
dirinya. Menurutnya walaupun aturan itu berdasarkan UU yang legal, namun
terasa tidak adil, semestinya mengundurkan diri.
Kasus lain adalah kasus kampanye hitam yakni adanya selebaran
yang mendiskreditkan Pasangan Benny-Hendri, tapi kasus itu segera ditangani
oleh Panwas dan Polres Payakumbuh.34 Tindakan provokatif di masa tenang ini
memang tidak mengakibatkan konflik yang melibatkan pihak-pihak tertentu,
karena dalam tindakan provokatif ini pihak yang melancarkan aksi tidak
menampakkan diri secara terang-terangan. Sehingga Panwas juga pihak
kepolisian hanya bisa mengambil tindakan yang bersifat menormalkan keadaan.
5. Konflik antara Pendukung dan Pasangan Calon Terpilih dengan
Pendukung dan Pasangan Calon yang Kalah dalam Pilkada
Pemungutan suara Pilkada Payakumbuh dilaksanakan pada tanggal
13 Agustus 2007. Warga yang menggunakan hak pilihnya berjumlah 50.443
orang dari 73.032 Daftar Pemilih Tetap (DPT). Sementara itu, sebanyak 22.589
pemilih tidak menggunakan hak suaranya.35
32 Hasil wawancara dengan Suparman, Sekretaris umum DPD PKS Payakumbuh.
33 Ibid.
34 Hasil wawancara dengan AKP Syamsir Alam, Kasat Intelkam, Kepala Satuan Intel Keamanan,
11 Agustus 2007.
35 http://209.85.175.104/search?q=cache:AsS4w5YRExEJ:www.wpfind.com, diakses pada 25
Agustus 2007.
Konflik Politik Pada Penyelanggaraan.... 339
Hasil Pilkada menunjukkan, pasangan Josrizal Zain - Syamsul Bahri
unggul dengan 49 persen suara (24.788 pemilih). Disusul pasangan Masrul
Malik - Risman Mukhtar dengan 10.828 pemilih (21,93 persen), pasangan Benny
Mukhtar - Hendri 7.208 suara (15,77 persen) dan Ardi-Nasrullah 6.799 suara
(12.88 persen).
Sebelum pelantikan pasangan terpilih Josrizal Zain-Syamsul Bahri
dilakukan, suasana konflik terlihat antara pasangan dan pendukung calon terpilih
dan pasangan serta pendukung calon yang kalah dalam Pilkada. Tiga pasang
calon yang kalah dalam Pilkada mengajukan protes karena telah terjadi beberapa
kecurangan. Kecurangan itu misalnya “surat suara yang tidak terdistribusikan
secara benar. Ada pemilih yang berhak memilih, tapi tak mendapatkan surat
suara, ada pula yang malah mendapatkan surat suara ganda.”36
Saat itu ketiga pasangan tersebut mengajukan protes ke KPUD, Panwas
Kota dan KPUD Sumbar. Mereka juga menengarai ada permainan uang (money
politics) pada saat menjelang pencoblosan. Setiap orang diberikan Rp10 ribu -
Rp15 ribu untuk memilih pasangan tersebut.37
Namun sampai acara pelantikan Walikota/Wakil Walikota Payakumbuh
dilaksanakan, ancaman ketiga pasangan yang gagal dalam Pilkada tidak
direalisasikan. Bahkan Gubernur Gamawan Fauzi yang melantik Walikota/
Wakil Walikota memuji kesuksesan Pilkada Payakumbuh dan menyatakan
bahwa Pilkada Payakumbuh patut diteladani oleh Kota/Kabupaten lain yang
akan melaksanakan Pilkada. 38
6. Konflik antara Pemantau Pilkada dengan KPU Kota dan Panwas Kota
Sampai pada saat pelantikan terhadap pasangan calon terpilih dilakukan
tanggal 22 September 2007, namun tahapan Pilkada Payakumbuh belum
sepenuhnya sempurna dilalui. Satu hal yang belum dijalankan KPUD adalah
pengumuman hasil audit dana kampanye pasangan calon kepala daerah kepada
publik. Padahal, pengumuman ini mutlak dilakukan sesuai dengan pasal 84 UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Akibatnya, sejumlah lembaga yang pernah memantau jalannya Pilkada
Payakumbuh menilai, KPUD telah mengabaikan peraturan. Menurut UU Nomor
36 Prof. Ardi, dalam http://209.85.175.104/search?q=cache:AsZ91zsZP-IJ:www.padangmedia.
com/news, diakses pada 27 Agustus 2007.
37 Ibid.
38 http://www. Payakumbuh.go.id.
340 Kajian, Vol 14, No. 2, Juni 2009
32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 83 dan 94, sumbangan dana
kampanye yang tidak mengikat yang meliputi sumbangan perseorangan dan
atau badan hukum swasta, mesti disampaikan pasangan calon kepada KPUD
satu hari setelah dan sesudah masa kampanye berakhir.
Selain itu, KPUD mesti mengumumkan pula laporan sumbangan dana
setiap pasangan calon kepala daerah kepada masyarakat, melalui media massa.
Pengumuman ini menurut Pasal 83 ayat 7 UU Nomor 32 tahun 2004 dilakukan
KPUD satu hari setelah menerima laporan dari pasangan calon. Namun sampai
5 minggu setelah pemungutan suara KPU Kota belum menmpublikasikan, seperti
yang disitir oleh Ketua Panwas kota bahwa; “namun sampai sekarang, KPUD
belum juga mengumumkannya. Sehingga publik tidak tahu, apakah calon kepala
daerah sudah menyerahkan laporan dana kampanyenya? Atau KPUD yang
memang belum menyampaikan melalui media massa? Karena itu, kami harap
KPUD tidak lengah.”39
Selain itu, pasca penghitungan suara, konflik yang melibatkan KPU
Kota dengan Panwas Kota terkait dengan penyampaian informasi kegiatan
Pilkada kepada publik. Diatur dalam UU No. 22 tahun 2007, juga UU No. 32
Tahun 2004, dan PP No. 6 Tahun 2005 bahwa KPUD harus menyampaikan
informasi kegiatannya kepada publik, tapi yang menjadi permasalahan adalah;
bagaimana mekanisme yang ditempuh untuk menyampaikan kegiatannya
kepada publik? bagaimana format penyampaian informasinya? mempublikasinya
dimana? menyangkut materinya, materi apa yang dilaporkan ke publik? Yang
dimaksud dengan publik tersebut publik yang mana? Terabaikannya penyampaian
informasi kegiatan ke publik ini oleh KPU Kota membuat Panwas tidak bisa
menindaklanjuti, karena tidak jelas standar/ukuran yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
B. Pembahasan
1. Konflik pada Masa Persiapan
Pada masa persiapan ini terjadi konflik tertutup antara KPU Kota dengan
Panwas Kota. Konflik antar keduanya terlihat dari ketidaksukaan KPU atas
terbentuknya Panwas Kota. Sementara dari Panwas sendiri merasa
kehadirannya/terbentuknya institusi tersebut dirasakan terlambat sehingga
39 Yuzalmon, dalam “KPUD Dinilai “Abaikan” Peraturan Audit Dana Kampanye, Tidak Diumumkan?”
Padang Ekspres Online, Sabtu, 22-September-2007.
Konflik Politik Pada Penyelanggaraan.... 341
tahapan-tahapan pada masa persiapan tidak bisa diawasi karena Panwas masih
disibukkan dengan urusan internal Panwas.
Terkait pembentukan Panwas, UU No. 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilu mengatur bahwa Panwas Kabupaten/Kota bersifat ad
hoc40. Disamping itu, diatur pula bahwa Panwas Kab/Kota dibentuk paling lambat
1 (satu) bulan sebelum tahapan pertama penyelenggaraan Pemilu dimulai dan
berakhir paling lambat 2 (dua) bulan setelah seluruh tahapan penyelenggaraan
Pemilu selesai.41
Panwas Kota dibentuk pada tanggal 12 Mei 2007, 19 hari setelah
pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan Kepala
Daerah. Tanggal 12 Mei 2007 tersebut bertepatan dengan waktu dimana pihak
KPU Kota tengah membentuk PPK dan PPS. Klausul bahwa paling lambat
satu bulan untuk membentuk Panwas, sebelum tahapan pertama
penyelenggaraan Pemilu berarti Panwas sudah harus dibentuk sebelum
penetapan daftar pemilih.
Sebab dari adanya konflik tertutup antara KPU Kota dengan Panwas kota adalah
pemanfaatan aturan/norma yang bersifat ambigu oleh pihak-pihak tertentu.
Klausul bahwa ‘Panwas Kab/Kota dibentuk paling lambat 1 (satu) bulan sebelum
tahapan pertama penyelenggaraan Pemilu dimulai,’ bersifat ambigu. Di satu
sisi berkehendak supaya penyelenggaraan Pilkada diawasi, tetapi disisi lain
ada keengganan memberikan keleluasaan Panwas menjalankan fungsinya
dari tahap awal.
DPRD yang memutuskan tentang pembentukan Panwas bisa
mempercepat atau mengulur waktu pembentukan Panwas. Apabila mayoritas
anggota Dewan mendukung Walikota yang kebetulan juga menjadi salah satu
calon Walikota, bisa jadi penguluran waktu pembentukan Panwas merupakan
kesengajaan supaya kerja KPU Kota tidak diganggu.
Konflik yang terjadi saat KPU Kota membentuk PPK dan PPS tidak
bisa diawasi oleh Panwas Kota. Unsur masyarakat yang kecewa dengan
tindakan sepihak KPU Kota juga tidak bisa melaporkan ke Panwas karena
Panwas baru saja terbentuk dan belum bisa segera bekerja.
40 Pasal 70 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
41 Pasal 71 UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Sementara Pasal 2 PP
No. 6 Tahun 2005 mengatur bahwa pembentukan Panwas diputuskan DPRD paling lambat 21 hari
sejak disampaikannya pemberitahuan DPRD kepada Kepala Daerah mengenai berakhirnya masa
jabatan, dan pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan Kepala
Daerah. Namun ketentuan yang diatur PP tersebut tidak berlaku lagi sejak diaturnya hal yang
sama pada UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.
342 Kajian, Vol 14, No. 2, Juni 2009
Semestinya sejak dari masa persiapan, Panwas sudah harus terbentuk,
sehingga kedua lembaga tersebut berjalan dari garis start yang sama. Dengan
begitu proses Pemilu sejak dari masa persiapan sampai tahap pelaksanaan
bisa terawasi.
Disamping itu, konflik tertutup antar kedua lembaga tersebut disebabkan
karena ada perbedaan perasaan, pemikiran, dan perbuatan yang tidak sejalan.
KPU Kota menganggap bahwa penyelenggaraan Pemilu akan berjalan efektif
apabila tidak diganggu oleh Panwas. Sementara Panwas beranggapan bahwa
Pemilu akan berjalan dengan sesuai azas Pemilu apabila semua tahapantahapan
penyelenggaraan Pemilu terawasi dengan semestinya. Tidak ada upaya
yang ditempuh baik oleh Panwas Kota maupun KPU Kota untuk menyelesaikan
konflik tertutup ini.
2. Konflik pada Tahapan Pelaksanaan
Konflik antara KPU Kota dengan Panwas Kota yang dipicu oleh tidak
akuratnya data pemilih dilakukan dengan saling mencocokkan dan
mengkonfrontir data yang dimiliki oleh masing-masing lembaga. Panwas
menunjukkan temuannya bahwa ada 100 warga yang tidak mendapat kartu
pemilih.
Konflik terkait data pemilih ini berkaitan dengan masalah penduduk
perbatasan. Konflik yang dipicu oleh masalah penduduk perbatasan ini
merupakan konflik yang selalu muncul apabila ada pemilihan umum, dan pilkada,
karena penduduk perbatasan bisa berpindah-pindah di dua wilayah antara Kota
Payakumbuh dan Kabupaten Limapuluh Kota. Dengan keputusan bahwa
penduduk Api-Api tidak boleh memilih di dalam Pilkada Payakumbuh, merupakan
keputusan final dan mengakhiri konflik yang selalu berulang di daerah perbatasan
tersebut.
Konflik dalam arti pertentangan karena beda pendapat antara Panwas
dengan KPU Kota ini disebabkan pula dengan adanya keraguan Panwas terhadap
kompetensi KPU Kota dalam memutakhirkan data pemilih. Penyelesaian konflik
ini dilakukan bersama-sama antara Panwas, KPU Kota, Muspida Kota
Payakumbuh dan Pemda Kab. Limapuluh Kota. Temuan Panwas yakni 100
warga yang tidak mendapat kartu pemilih tetap dapat mencoblos dengan
memperlihatkan KTP. Sedangkan penduduk perbatasan tidak boleh mencoblos
pada Pilkada Payakumbuh.
Konflik Politik Pada Penyelanggaraan.... 343
Konflik antara pendukung calon dengan Panwas pada Masa Kampanye
disebabkan oleh pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pendukung
pasangan calon. Panwas dalam mengatasi masalah ini dilakukan dengan prinsip
menjaga posisi Panwas agar berada pada jarak yang sama dengan partai-partai
pendukung calon. Panwas selalu mencermati siasat dari partai-partai pendukung
tersebut dan menjaga jangan sampai terjebak dalam pola permainan yang
didesign oleh partai-partai pendukung calon yang bersaing. Hal ini selalu dijaga
Panwas karena politik di level kota sangat bersifat personal. Namun kehatihatian
Panwas ini sering dimaknai lain oleh partai-partai pendukung calon yang
bersaing. Panwas dinilai lambat merespon setiap penyelewenagan yang
diadukan kepada Panwas.
Selain itu calon-calon kepala daerahnya pun semua berasal dari suku
Minang. Sehingga tidak seperti di daerah dimana calon kepala daerahnya berasal
dari luar daerah sehingga memunculkan isu dan sentimen putra daerah versus
non putra daerah. Calon-calon yang bersaing adalah Badun Sanak (bersaudara).
Mereka Badun Sanak dari Luhak Limapuluh (kesatuan kultur Minangkabau yang
berasal dari wilayah Limapuluh Kota).
Para calon datang dari Luhak Limapuluh maksudnya adalah kesatuan
secara sosiologis/kultur satu rumpun yakni dari Kab. Limapuluh Kota dengan
Kota Payakumbuh sebagai daerah pemekaran Limapuluh Kota. Walaupun
secara administratif terpisah, namun secara kultur mereka adalah satu.
Untuk mengantisipasi adanya kekacauan dalam Pilkada, maka pada
awal tahap pelaksanaan kampanye yakni tanggal 1 Juli 2007, segenap
pemangku kepentingan terkait Pilkada dengan unsur Muspida dengan disaksikan
Gubernur Sumatera Barat telah menyepakati Kesepakatan Bersama.
Kesepakatan bersama antar calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang
berisi 11 kesepakatan yang intinya para calon walikota dan wakil walikota siap
untuk menang dan siap untuk menerima kekalahan dengan ikhlas. Dalam
naskah kesepakatan tersebut diingatkan bahwa Pilkada Kota adalah Pilkada
Badun Sanak (bersaudara) sehingga harus berlangsung damai, dan masingmasing
harus menyukseskannya. Kesepakatan para pemangku kepentingan
ini merupakan kearifan lokal untuk mencegah timbulnya konflik pada pelaksanaan
Pilkada Payakumbuh.
Dalam hal mengatasi konflik yang timbul pada masa kampanye dan
masa tenang, Panwas dalam menangani laporan yang bersifat sengketa dan
tidak mengandung unsur pidana, diselesaikan oleh Panwas sesuai dengan
344 Kajian, Vol 14, No. 2, Juni 2009
yang telah diatur oleh PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan,
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Hal tersebut dilakukan melalui tahapan yakni; mempertemukan pihak-pihak
yang bersengketa untuk melakukan musyawarah mufakat. Apabila tidak dicapai
kesepakatan, maka Panwas membuat keputusan, dan keputusan tersebut
bersifat final.
Apabila diperlukan suatu tindakan tertentu, maka pihak Panwas
mengatasinya secara bersama-sama yakni dengan menurunkan tim gabungan
dari satpol PP, kepolisian, Panwas Kecamatan, diikuti dari media massa, dan
perwakilan dari KPUD. Eksekusi tidak dilakukan oleh Panwas sendiri tapi oleh
Tim dan berkoordinasi dengan KPUD.
Konflik antara pendukung calon yang menang dan yang kalah dalam
Pilkada yang sumber masalahnya adalah adanya dugaan kecurangan dan
praktek money politics pada perkembangannya kemudian ternyata tidak
berkepanjangan dan reda dengan sendirinya. Dari pihak pendukung dan calon
yang kalah dalam Pilkada tidak memperkarakan lebih lanjut dugaan kecurangan
dan praktek money politics tersebut. Demikian juga dengan pengumuman hasil
audit dana kampanye, melalui pantauan media massa tidak dimuat bagaimana
kelanjutannya.
Konflik antara KPU Kota dan Panwas terkait dengan pelaporan KPU
Kota kepada publik. Berbeda dengan Panwas Kota yang bertanggungjawab
kepada DPRD dan berkewajiban menyampaikan laporannya kepada DPRD42,
maka KPU Kota seperti yang diatur dalam Pasal 10 ayat (4) UU No. 22 Tahun
2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, bahwa;
“KPU Kabupaten/Kota dalam Pemilu Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden, dan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
berkewajiabn: c. Menyampaikan semua informasi penyelenggaraan
Pemilu kepada masyarakat, e. Menyampaikan laporan
pertanggungjawaban semua kegiatan penyelenggaraan Pemilu
kepada KPU malalui KPU Provinsi”.
KPU Kota, disamping menyampaikan informasi penyelenggaraan Pemilu
kepada masyarakat, juga menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada
KPU melalui KPU Provinsi. Hal ini bertentangan dengan UU No. 32/2004 yang
42 Pasal 57 ayat (7) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Konflik Politik Pada Penyelanggaraan.... 345
mengharuskan KPU Kota untuk menyampaikan laporan kepada DPRD disamping
menyampaikan laporan kepada masyarakat.43
yang menjadi sumber konflik antara KPU Kota dengan Panwas Kota
adalah penyampaian informasi oleh KPU Kota ke publik belum sepenuhnya
dilakukan oleh KPU Kota. Terjadi perdebatan antar kedua lembaga tersebut
terkait informasi kegiatan Pilkada kepada masyarakat. Perdebatan tersebut
meliputi bagaimana format penyampaian informasinya, apa yang perlu
diinformasikan, dimana informasi kegiatan tersebut dipublikasikan.
Berbeda dengan Panwas yang bertanggungjawab kepada DPRD,
Panwas sudah merancang pertanggungjawaban yakni dengan membuat laporan
yang berisi pertanggungjawaban kegiatan dari awal sampai akhir, Bab I tentang
pertanggungjawaban politik, Bagian II tentang pertanggungjawaban anggaran,
kegiatan-kegiatan bisa dibreakdowning menurut bagian masing-masing.
Peraturan yang mengatur informasi kegiatan oleh KPU Kota kepada publik
ini tidak mendapat penjelasan detilnya di PP No. 6 Tahun 200, bagaimana
mempublikasikannya, apakah cukup ditempel di depan kantor KPU Kota, atau
disebarkan ke lembaga-lembaga pemerintah dan LSM, Pengaturan yang tidak
applicable di lapangan ini telah menyulut konflik antara KPU Kota dan Panwas
Kota.
Disamping itu pengaturan di UU juga di level PP yang tidak jelas tersebut
juga dimanfaatkan oleh KPU Kota untuk menghindar dari kewajiban melaporkan
pertanggungjawaban kepada masyarakat. Aturan yang sangat longgar ini
dimaknai sesuai kepentingan pihak-pihak yang berkepentingan.
Ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur bahwa
calon incumbent hanya menjalankan cuti saat kampanye sangat menguntungkan
calon incumbent dan rentan untuk diselewengkan.44 Mobilisasi karyawan serta
43 Pasal 67 ayat (1) huruf c, yang menyatakan bahwa; “KPUD berkewajiban menyampaikan
laporan kepada DPRD untuk setiap tahap pelaksanaan pemilihan dan menyampaikan informasi
kegiatannya kepada masyarakat.” Jadi mengatur secara berbeda antara UU No. 32/2004 dengan
UU No. 22 Tahun 2007 tentang laporan pertanggungjawaban KPU Kota. UU No. 32/2004 mengatur
KPU Kota bertanggungjawab kepada DPRD, sementara UU No. 22/2007 mengatur bahwa KPU
Kota bertanggungjawab kepada KPU melalui KPU Provinsi. Walaupun pengaturan yang berbeda
tersebut sama-sama tertuang dalam level UU, namun karena UUNo. 22/2007 merupakan UU yang
bersifat khusus diabnding dengan UU No. 32/2004, sehingga pengaturannya lebih tunduk dibawah
UU No. 22/2007, sehingga pertanggungjawaban KPU Kota ke KPU melalui KPU Provinsi. Demikian
pula dengan PP No. pada Pasal 6 huruf c menyatakan bahwa : “KPUD sebagai penyelenggara
pemilihan berkewajiban : c. Menyampaikan laporan kepada DPRD untuk setiap tahap pelaksanaan
pemilihan dan menyampaikan informasi kegiatannya kepada masyarakat.”
44 Pasal 61 ayat (4) PP No. 6 Tahun 2005 menyatakan bahwa; “Pejabat negara sebagaimana
yang dimaksud pada ayat (3), yang menjadi calon Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah
dalam melaksanakan kampanye tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya
dan harus menjalankan cuti”.
346 Kajian, Vol 14, No. 2, Juni 2009
penggunaan fasilitas Pemerintah daerah mudah dimanfaatkan untuk kepentingan
politik calon incumbent.
Namun demikian konflik-konflik di Pilkada Payakumbuh ini tidak menjadi
konflik terbuka. Sinyalemen Peter M. Blau tentang diferensiasi sosial
berdasarkan parameter nominal seperti SARA, Partai politik dan organisasi
massa, ternyata pada momen Pilkada Payakumbuh tidak bisa membangkitkan
emosi massa untuk selanjutnya memunculkan konflik. Hal ini disebabkan
masyarakat Payakumbuh merupakan masyarakat yang homogen. Mayoritas
masyarakatnya adalah suku Minang dan beragama Islam.
Konflik yang terjadi di seputar Pilkada Payakumbuh bukanlah konflik
liar dan berubah menjadi konflik terbuka dengan menggunakan kekerasan dan
saling memusuhi sehingga terjadi kontak fisik. Namun konflik yang terjadi masuk
dalam kategori konflik lisan. Konflik yang terjadi lebih pada konflik berupa
perdebatan, beda pendapat, perang kata-kata.
Jadi memang dalam sejarah Minangkabau konflik secara frontal dan
terbuka memang dihindari. “Kultur orang minang bahwa masyarakat lebih suka
main menang, tidak mau disuruh untuk hal-hal yang terlalu jauh.”45 Kalau ada
riak-riak kecil, ribut-ribut sedikit, itu hal biasa tapi untuk aksi anarkhis bibitnya
tidak ada. “Masyarakat Minang sangat sulit diprovokasi, sehingga tindakan
kekerasan tidak ada bibitnya dalam masyarakat Minangkabau.”46
IV. Kesimpulan dan Rekomendasi
A. Kesimpulan
Konflik di seputar Pilkada Payakumbuh dikatakan sebagai konflik politik,
karena konflik tersebut terkait dengan upaya perebutan scarcity/kelangkaan
berupa posisi jabatan publik yakni posisi sebagai walikota dan wakil walikota.
Konflik politik ditemukan pada Masa Persiapan juga pada tahapan pelaksanaan.
Timbulnya konflik, sebab-sebab yang melatarbelakangi konflik serta
penyelesaiannya oleh pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan Pilkada
Kota Payakumbuh merupakan pembelajaran politik bagi mereka dan komunitas
politik setempat.
45 M. Siebert, Sekjen Panwas Kota, wawancara pada tanggal 10 Agustus 2007.
46 Yuzalmon, Ketua Panwas Kota Payakumbuh, wawancara pada tanggal 10 Agustus 2007.
Konflik Politik Pada Penyelanggaraan.... 347
Konflik yang terjadi baik pada masa persiapan maupun pada tahap
pelaksanaan, sebab yang melatarbelakangi mengapa konflik-konflik tersebut
terjadi lebih banyak disebabkan oleh lemahnya penghormatan pada nilai-nilai
demokrasi terkait dengan penyelenggaraan Pilkada Kota Payakumbuh. Peraturan
perundangan yang dalam klausula-klausula tertentu bersifat ambigu telah
dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu supaya kegiatan pemilihan tidak ketat
diawasi, dan hidden agenda pihak-pihak yang berkepentingan bisa terakomodasi.
Langkah-langkah untuk mengatasi konflik pada dasarnya pertama
dilakukan dengan cara persuasif, mengingatkan, memberitahu, memberikan
pemahaman, mengadakan sosialisasi kepada pihak-pihak yang melakukan
pelanggaran. Lebih jauh lagi, dalam mengambil tindakan penertiban, Panwas
tidak bekerja sendiri, Panwas mengatasinya dengan menurunkan tim gabungan
dari satpol PP, kepolisian, Panwas Kecamatan, diikuti dari media massa, dan
perwakilan dari KPUD. Dari seluruh pelanggaran yang terjadi dan menyulut konflik
di Pilkada Payakumbuh, maka hanya satu kasus yang terindikasi sebagai tindak
pidana yakni kasus kampanye hitam/selebaran yang mendiskreditkan salah
satu pasangan calon yang ditangani oleh Polres Payakumbuh.
Konflik yang terjadi pada Pilkada Payakumbuh masuk dalam kategori
konflik lisan. Konflik yang terjadi lebih pada konflik berupa perdebatan, beda
pendapat, dan perang kata-kata. Konflik pada pilkada Payakumbuh bukanlah
konflik liar dan berubah menjadi konflik terbuka dengan menggunakan kekerasan
dan saling memusuhi sehingga terjadi kontak fisik. Masyarakat Minang sangat
sulit diprovokasi, apabila ada riak-riak kecil cepat bisa diselesaikan sehingga
tidak berlarut-larut sehingga menjadi konflik terbuka.
B. Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka rekomendasi untuk RUU
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota adalah bahwa dalam RUU pilkada
hendaknya pengertian kampanye perlu diperluas tidak hanya kegiatan saat masa
kampanye, tapi aksi diluar masa kampanye yang bernada mengajak dan
menggiring orang untuk memilih pasangan tertentu maka itupun masuk kategori
kampanye dan dapat dijerat dengan sanksi melakukan kampanye di luar jadwal.
Begitu juga dengan kegiatan yang masuk dalam kategori kampanye juga
diperluas substansinya.
348 Kajian, Vol 14, No. 2, Juni 2009
Selain itu, masalah pengenaan sanksi perlu dipertegas, jangan hanya
dengan sanksi sejumlah uang dimana sanksi ini cenderung untuk dilanggar
karena terlalu ringan. Disamping itu untuk menjaga jangan sampai ada movemove
untuk saling menjegal antar lembaga penyelenggara pilkada maka
sebaiknya pembentukan KPUD dan Panwas jangan terpaut terlalu lama, hal ini
untuk mengantisipasi efektivitas kerja Panwas sehingga dapat melakukan
tugasnya sejak awal penyelenggaraan Pilkada.
Perlu lebih mengefektifkan peran Dinas Catatan Sipil untuk melakukan
pendataan pemilih, apabila perlu ada penambahan dana. Sehingga akurasi data
akan tercapai. Disamping itu perlu dipermudah bagi pemilih yang ternyata belum
terdaftar untuk menggunakan KTP sebagai ganti kartu pemilih. RUU Pilkada
sebaiknya mengakomodasi pengadaan petugas pengawas lapangan yang
bernaung dibawah Panwas.
Hal yang sangat krusial dalam pilkada yakni adanya pemanfaatan
fasilitas dan sumberdaya lain oleh calon incumbent. RUU Pilkada harus
mengaturnya supaya lebih adil. Hal ini bisa dengan mengatur bahwa calon
incumbent untuk non aktif atau bahkan mengundurkan diri dari kedinasan
sebelum pendaftaran calon dilakukan sehingga dari awal incumbent terputus
dari akses memanfaatkan fasilitas dan dukungan birokrasi yang sebelumnya
dikuasai.
Biasanya yang memicu konflik antar pendukung pasangan calon adalah
praktek money politics. Koalisi antar partai yang mengusung pasangan calon
tertentu hampir pasti mensyaratkan adanya taruhan dana. Terutama partai-partai
gurem yang tidak punya massa, maka elit partai menjanjikan sejumlah dana.
Namun sering janji tidak terpenuhi sehingga menimbulkan gesekan. RUU Pilkada
sebaiknya bisa mengatur mengenai potensi praktek money politics beserta
sanksinya.
Konflik Politik Pada Penyelanggaraan.... 349
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta, Penerbit
Djambatan, 1993.
Simon Fisher, Mengelola Konflik: ketrampilan dan Strategi Untuk Bertindak,
Jakarta, The British Council, 2001.
Maswadi Rauf, Konsensus Politik; Sebuah Penjajagan Teoritis, Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas, 2000.
Ramlan Surbakti, Dasar-dasar Ilmu Politik, Surabaya, Airlangga University Press,
1984,
———————————, Memahami Ilmu Politik, Gramedia Widisarana
Indonesia, Jakarta, 1992.
Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat
Multikultur, Yogyakarta, LKiS, 2005.
David C. Korten, Pembangunan Berpusat pada Rakyat, Jakarta, Yayasan Obor
Indonesia, 1985.
Robert K. Yin, Case Study Research, Design and Method (2nd ed.), Sage
Publication, 1994 .
SP. Varma, Teori Politik Modern, Jakarta, Rajawali Press, 1990
Ted Robert Gurr, Handbook of Political Conflict, Theory and Research, New
York, The Free Press, 1980.
George Ritzer dan Douglas J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Jakarta,
Prenada Media, 2004 .
Robert Dahl, Perihal Demokrasi, YOI, Jakarta, 1999.
Sigid Pamungkas, Perihal Pemilu, Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol UGM,
Yogyakarta, 2009.
Makalah
Mulyadi “Konflik Sosial ditinjau dari Segi Struktur dan Fungsi”, Jurusan
Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya UGM, tanpa tahun, Yokyakarta.
350 Kajian, Vol 14, No. 2, Juni 2009
Jurnal
Analisis SCIS, Peran Masyarakat dan demokrasi Lokal, Vol 34, No. 2, Juni
2005, Jakarta.
Internet
http://72.14.235.132/search?q=cache:3Nwr36umBqkJ:www.scripps.ohiou.edu/
news..htm.
http://209.85.175.104/search?q=cache:AsS4w5YRExEJ:www.wpfind.com/
Pilkada.
http://209.85.175.104/search?q=cache:AsZ91zsZP-IJ:www.padangmedia.com/
news.
http://www. Payakumbuh.go.id.
Padang Ekspres Online, Sabtu, 22-September-2007 .
http://www.kpu.go.id/
Suratkabar
Bali Post, 10 Desember 2003.
Kompas, Rabu 2 Februari 2001.
Peraturan Perundang-undanganUU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum.
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar